Berfikir out-of-the-box dalam sebuah Riset
Saturday, February 25, 2017
Add Comment
Heri Nurdiyanto:
Tiap harinya ada puluhan “petuah” yang masuk ke berbagai grup WA yang saya ikuti. Biasanya saya tidak pernah membaca petuah-petuah tersebut, tapi entah kenapa pagi ini mata saya tertambat pada satu posting petuah. Posting ini diawali dengan sebuah cerita dan diakhiri dengan ‘moral of the story’. Saya coba share di sini karena moral of the storynya relevan sekali dengan kita yang sering dihadapkan pada kondisi stuck dan macet, seolah jalan buntu tidak ada solusinya. Ringkasan postingnya kira-kira sbb.
Dalam sebuah tes seleksi masuk kerja ke sebuah perusahaan marketing, 3 orang kandidat diberikan soal yang harus diselesaikan: menjual sisir rambut di biara Shaolin. Bagi yang tidak pernah nonton film kungfu, biara Shaolin itu isinya biksu yang semuanya gundul. Singkat kata, setelah melakukan berbagai usaha, kandidat pertama tidak berhasil menjual sebuah sisirpun. Kandidat kedua berhasil menjual 10 sisir, dan kandidat ketiga berhasil menjual 1000 sisir.
Ketika masing-masing kandidat ditanya, ternyata diketahui bahwa kandidat pertama menjual sisirnya ke para biksu. Ya jelas tidak ada biksu yang mau beli sisirnya. Kandidat kedua menjual sisirnya kepada para turis yang berkunjung ke biara Shaolin tsb, dengan pemikiran bahwa sebagian turis memerlukan sisir untuk merapikan rambutnya yang kena angin. Yang menarik adalah kandidat ketiga. Dia tidak menjual sisirnya ke para biksu atau turis. Dia datang ke biara, menemui kepala biara, lalu membujuk kepala biara untuk menandatangani kotak bungkus sisir dan kemudian menjualnya sebagai souvenir.
Nah, moral of the storynya adalah, kesuksesan kadang memerlukan pemikiran yang out-of-the-box. Dalam contoh cerita di atas, sementara kandidat pertama dan kedua berfokus pada fungsi sisir sebagai perapi rambut, kandidat ketiga keluar dari mainstream tersebut. Dia melihatnya dari sudut pandang lain yang lebih menjanjikan.
Dalam keseharian, kita juga sering mengalami masalah seperti yang dialami oleh ketiga kandidat dalam cerita di atas. Jika berbagai usaha yang mengikuti pakem sudah dicoba dan masih belum berhasil, mungkin tiba saatnya untuk melihat permasalahan dari sudut pandang yang berbeda dan menggunakan pendekatan yang berbeda pula.
Mungkin bagi sebagian orang, berpikir out-of-the-box terasa sulit, tapi sebenarnya ini adalah ketrampilan yang bisa dilatih. Syaratnya dua saja. Yang pertama tentu saja adalah penguasaan kita terhadap kotak-kotak lain. Kita memerlukan kotak lain sebagai pijakan untuk memandang, sehinga pemahaman dan pengetahuan kita tentang kotak lain tersebut menjadi penting. Dalam contoh cerita di atas, kandidat ketiga bisa sampai pada solusi yang berhasil karena dia tidak hanya paham tentang teknik menjual (kotak mainstreamnya), tapi juga tentang psikologi wisatawan (mungkin bagi wisatawan, souvenir sisir dari sebuah tempat wisata yang orang-orangnya tidak memerlukan sisir merupakan sebuah surprise yang unik).
Syarat kedua lebih pada motivasi internal: bagaimana kita bersedia untuk berpindah dari kotak mainstream kita ke kotak lain. Ini kadang tidak mudah, apalagi bila kita terlatih berpikir secara ‘kacamata kuda’. Cara melatih untuk memudahkan switching dari kotak satu ke kotak lain adalah membiasakan diri untuk melihat dunia lain di luar bidang kita. Biasakanlah untuk mengeksplorasi, bermain-main, dan mempelajari apa yang ada di sana. Jika kita terbiasa melakukan hal itu, tanpa terasa inersia untuk berpindah kotak akan menurun dan kita akan lebih gampang untuk berpindah kotak.
Bagi para mahasiswa, jika anda kesulitan mencari topik penelitian di bidang anda misalnya, cobalah untuk bermain-main di bidang lain, bahkan mungkin yang tidak ada hubungannya dengan bidang anda sendiri. Di departemen saya, banyak topik penelitian di bidang TIK yang problemnya dipicu oleh persoalan-persoalan di bidang kesehatan, pendidikan, budaya, dan sebagainya. Tahun ini saya dan beberapa teman juga mendapatkan hibah penelitian di bidang persawitan. Idenya sederhana saja: monitoring beberapa parameter yang penting dalam pengelolaan kebun sawit dengan teknologi Internet of Things yang sederhana. Saya mendapatkan pelajaran penting saat kami memresentasikan proposal dulu: IoT yang bagi orang Elektro itu sederhana banget, ternyata bagi orang sawit itu wow banget. Intinya, bersilaturahmi ke bidang ilmu lain itu penting sekali.
Efek samping dari kemampuan switching antar kotak yang juga sangat bermanfaat adalah rasa empati yang tinggi. Kita menjadi lebih mudah memahami jalan pikiran orang lain dan apa yang dirasakannya. Kita bisa lebih bertoleransi terhadap keberagaman, kita bisa lebih sabar dalam menghadapi perilaku orang lain yang tidak sejalan dengan kita, dan kita bisa membantu orang lain dengan lebih baik lagi.
Tiap harinya ada puluhan “petuah” yang masuk ke berbagai grup WA yang saya ikuti. Biasanya saya tidak pernah membaca petuah-petuah tersebut, tapi entah kenapa pagi ini mata saya tertambat pada satu posting petuah. Posting ini diawali dengan sebuah cerita dan diakhiri dengan ‘moral of the story’. Saya coba share di sini karena moral of the storynya relevan sekali dengan kita yang sering dihadapkan pada kondisi stuck dan macet, seolah jalan buntu tidak ada solusinya. Ringkasan postingnya kira-kira sbb.
Dalam sebuah tes seleksi masuk kerja ke sebuah perusahaan marketing, 3 orang kandidat diberikan soal yang harus diselesaikan: menjual sisir rambut di biara Shaolin. Bagi yang tidak pernah nonton film kungfu, biara Shaolin itu isinya biksu yang semuanya gundul. Singkat kata, setelah melakukan berbagai usaha, kandidat pertama tidak berhasil menjual sebuah sisirpun. Kandidat kedua berhasil menjual 10 sisir, dan kandidat ketiga berhasil menjual 1000 sisir.
Ketika masing-masing kandidat ditanya, ternyata diketahui bahwa kandidat pertama menjual sisirnya ke para biksu. Ya jelas tidak ada biksu yang mau beli sisirnya. Kandidat kedua menjual sisirnya kepada para turis yang berkunjung ke biara Shaolin tsb, dengan pemikiran bahwa sebagian turis memerlukan sisir untuk merapikan rambutnya yang kena angin. Yang menarik adalah kandidat ketiga. Dia tidak menjual sisirnya ke para biksu atau turis. Dia datang ke biara, menemui kepala biara, lalu membujuk kepala biara untuk menandatangani kotak bungkus sisir dan kemudian menjualnya sebagai souvenir.
Nah, moral of the storynya adalah, kesuksesan kadang memerlukan pemikiran yang out-of-the-box. Dalam contoh cerita di atas, sementara kandidat pertama dan kedua berfokus pada fungsi sisir sebagai perapi rambut, kandidat ketiga keluar dari mainstream tersebut. Dia melihatnya dari sudut pandang lain yang lebih menjanjikan.
Dalam keseharian, kita juga sering mengalami masalah seperti yang dialami oleh ketiga kandidat dalam cerita di atas. Jika berbagai usaha yang mengikuti pakem sudah dicoba dan masih belum berhasil, mungkin tiba saatnya untuk melihat permasalahan dari sudut pandang yang berbeda dan menggunakan pendekatan yang berbeda pula.
Mungkin bagi sebagian orang, berpikir out-of-the-box terasa sulit, tapi sebenarnya ini adalah ketrampilan yang bisa dilatih. Syaratnya dua saja. Yang pertama tentu saja adalah penguasaan kita terhadap kotak-kotak lain. Kita memerlukan kotak lain sebagai pijakan untuk memandang, sehinga pemahaman dan pengetahuan kita tentang kotak lain tersebut menjadi penting. Dalam contoh cerita di atas, kandidat ketiga bisa sampai pada solusi yang berhasil karena dia tidak hanya paham tentang teknik menjual (kotak mainstreamnya), tapi juga tentang psikologi wisatawan (mungkin bagi wisatawan, souvenir sisir dari sebuah tempat wisata yang orang-orangnya tidak memerlukan sisir merupakan sebuah surprise yang unik).
Syarat kedua lebih pada motivasi internal: bagaimana kita bersedia untuk berpindah dari kotak mainstream kita ke kotak lain. Ini kadang tidak mudah, apalagi bila kita terlatih berpikir secara ‘kacamata kuda’. Cara melatih untuk memudahkan switching dari kotak satu ke kotak lain adalah membiasakan diri untuk melihat dunia lain di luar bidang kita. Biasakanlah untuk mengeksplorasi, bermain-main, dan mempelajari apa yang ada di sana. Jika kita terbiasa melakukan hal itu, tanpa terasa inersia untuk berpindah kotak akan menurun dan kita akan lebih gampang untuk berpindah kotak.
Bagi para mahasiswa, jika anda kesulitan mencari topik penelitian di bidang anda misalnya, cobalah untuk bermain-main di bidang lain, bahkan mungkin yang tidak ada hubungannya dengan bidang anda sendiri. Di departemen saya, banyak topik penelitian di bidang TIK yang problemnya dipicu oleh persoalan-persoalan di bidang kesehatan, pendidikan, budaya, dan sebagainya. Tahun ini saya dan beberapa teman juga mendapatkan hibah penelitian di bidang persawitan. Idenya sederhana saja: monitoring beberapa parameter yang penting dalam pengelolaan kebun sawit dengan teknologi Internet of Things yang sederhana. Saya mendapatkan pelajaran penting saat kami memresentasikan proposal dulu: IoT yang bagi orang Elektro itu sederhana banget, ternyata bagi orang sawit itu wow banget. Intinya, bersilaturahmi ke bidang ilmu lain itu penting sekali.
Efek samping dari kemampuan switching antar kotak yang juga sangat bermanfaat adalah rasa empati yang tinggi. Kita menjadi lebih mudah memahami jalan pikiran orang lain dan apa yang dirasakannya. Kita bisa lebih bertoleransi terhadap keberagaman, kita bisa lebih sabar dalam menghadapi perilaku orang lain yang tidak sejalan dengan kita, dan kita bisa membantu orang lain dengan lebih baik lagi.
0 Response to "Berfikir out-of-the-box dalam sebuah Riset"
Post a Comment